Segregasi Penumpang di Stasiun-stasiun di Bandung: Naik Kereta Murah Silakan Jalan Jauh!
Muhammad Zulyadri • 14 Juni 2022

Pemandangan Stasiun Bandung dari JPO timur. Foto oleh Fahrul Razi di Unsplash
Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di Medium Transport for Bandung pada 14 Juni 2022.
Naik kereta api di masa lalu adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan orang-orang bermental baja. Betapa tidak, kereta api masih merupakan moda transportasi yang jauh dari kata nyaman dan aman. Penumpang berdesakan memenuhi segala penjuru kereta: dari lorong kereta hingga toilet, dari sambungan kereta hingga atap. Penumpang-penumpang tersebut ada yang merupakan penumpang resmi ada pula penumpang yang benar-benar hanya ‘menumpang’ — tidak memiliki tiket alias penumpang gelap. Kereta api pun tak ubahnya sebuah pasar berjalan, segala pedagang asongan ada di dalamnya, dari yang menjual makanan/minuman hingga penambal panci. Jika beruntung, Anda akan mendapat hiburan on-board dari pengamen, namun tidak jarang juga Anda tidak beruntung, dihampiri bocah kecil yang meminta-minta uang sembari mengisap lem dari balik bajunya. Setidaknya itulah gambarannya di kereta kelas-3 (Ekonomi). Kelas-2 (Bisnis) dan kelas-1 (Eksekutif) masih lebih baik.
Kondisi di stasiun pun lebih-kurang sama, tapi masih ditambah lagi dengan keberadaan calo yang menawarkan tiket kereta api jarak jauh (KAJJ) dengan harga yang dilebih-lebihkan. Dan jangan lupa, kala itu, siapa saja boleh masuk ke stasiun dan kereta, dari mulai keluarga yang mengantar keberangkatan penumpang hingga copet. Yang terakhir ini membuat keamanan penumpang tidak terjamin, kehilangan dompet atau alat komunikasi adalah salah satu ‘konsekuensi’ dari keputusan Anda menggunakan kereta api sebagai moda perpindahan.
Tapi sekarang keadaan tidak lagi sekelam itu sejak perusahaan kereta api negara kita, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), melakukan reformasi besar-besaran terkait layanannya, terutama soal ketertiban penumpang dan pelayanan di atas kereta dan stasiun. Sejak tahun 2016, PT KAI menerapkan kebijakan “Check In & Boarding Pass” untuk menertibkan penumpang sekaligus membasmi praktik percaloan. Proses boarding ini persis seperti yang diberlakukan di dunia penerbangan komersil. Sejak saat itu, murni hanya penumpang bertiket dan yang memiliki kartu identitas saja yang dapat masuk ke area peron stasiun dan kereta. Hasilnya terbilang efektif, penumpang gelap tiada lagi, stasiun dan kereta bersih dari segala yang dianggap tidak berkepentingan, calo pun kehilangan ladang cangkulannya.
Namun kebijakan ini ternyata bukan tanpa cacat, timbul satu masalah baru: segregasi. Secara bahasa, segregasi berarti “pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya); pengasingan; pengucilan.” Ironisnya, yang terasingkan kali ini justru dari kalangan penumpang sendiri, tepatnya penumpang kereta api (KA) lokal. Sejak saat itu, penumpang KA lokal jadi harus dipisahkan karena sistem ticketing-nya berbeda. Sistem ticketing KA lokal tidak mensyaratkan kartu identitas agar penumpang dapat memasuki area peron dan tiket hanya dapat dibeli secara go-show.
Kasus Stasiun Bandung
Stasiun Bandung adalah stasiun kereta api utama di Kota Bandung sekaligus yang terbesar. Stasiun Bandung memiliki dua hall: utara dan selatan. Stasiun Bandung adalah stasiun yang menerapkan sistem boarding pertama di Indonesia. Dahulu, semua penumpang baik itu penumpang KA lokal maupun KAJJ boleh masuk dari kedua hall. Sejak kebijakan “Check In & Boarding Pass” diterapkan, penumpang KA lokal hanya diperbolehkan masuk dan keluar stasiun dari pintu selatan, sedangkan penumpang KAJJ boleh masuk dari kedua hall.
Hal ini sebenarnya sudah beberapa kali dikeluhkan oleh pengguna KA lokal sebab menjauhkan akses keluar/masuk khususnya bagi penumpang yang datang dari arah utara atau akan melanjutkan perjalanan ke arah utara. Seperti yang pernah dikeluhkan salah satu pengguna KA lokal yang tidak saya sebutkan namanya pada bulan Maret 2021, segregasi ini telah menyulitkan dirinya karena sudah telanjur tiba di hall utara namun ditolak masuk oleh petugas dan harus berjalan kaki cukup jauh menuju hall selatan, padahal ketika itu cuaca sedang hujan deras. Keluhan itu terbit di salah satu surat kabar terkemuka dan akhirnya sampai ke telinga PT KAI Daerah Operasi (Daop) II Bandung. Namun apa tanggapannya? PT KAI Daop II Bandung beralasan kalau pemisahan tersebut dilakukan supaya tidak ada penumpukan penumpang dan tidak ada penumpang yang salah naik kereta.
Menurut saya alasan ini kurang masuk akal sebab jika memang dikhawatirkan terjadi penumpukan penumpang dan ada penumpang yang keliru naik kereta, mengapa penumpang KAJJ masih diizinkan keluar/masuk ke/dari hall selatan? Bukankah jika memang demikian seharusnya benar-benar dipisahkan, penumpang KA lokal hanya boleh mengakses hall selatan dan sebaliknya penumpang KAJJ pun hanya boleh mengakses hall utara.
Bahkan menurut pengakuan PT KAI Daop II Bandung, pemisahan sudah diberlakukan sejak awal 2015, itu artinya setahun sebelum kebijakan “Check In & Boarding Pass” berlaku. Seolah-olah memang ada kesengajaan untuk membedakan penumpang KA lokal dengan KAJJ dan ada alasan lain lagi di balik semuanya. Apalagi pemisahan semacam ini tidak diberlakukan di Daop lain, misalnya Daop VIII. Tidak ada pemisahan antara penumpang KA lokal dengan KAJJ di Stasiun Surabaya Gubeng.
Skybridge yang Tidak Menyetarakan Kedudukan Penumpang
Sejak bulan September 2020, Stasiun Bandung sudah dilengkapi skybridge yang menghubungkan bangunan stasiun utara dengan selatan. Namun nyatanya, keberadaan skybridge ini tidak jua menghadirkan kesetaraan bagi penumpang. Awalnya saya mengira skybridge ini salah satunya ditujukan untuk membuka kembali akses hall utara bagi penumpang KA lokal, tapi ternyata tidak. Jika Anda coba-coba untuk keluar ke pintu utara setelah turun dari KA lokal melalui skybridge, siap-siap diadang oleh petugas keamanan dan diperintah balik kanan untuk keluar dari hall selatan saja. Masuk stasiun dari hall utara pun tidak memungkinkan, karena nyatanya setelah skybridge dioperasikan pun fasilitas boarding dan pembelian tiket KA lokal tetap tidak tersedia di sana.
Memang, saat ini tiket KA lokal dapat dibeli melalui aplikasi KAI Access, tetapi kendati Anda sudah membeli tiket KA lokal melalui aplikasi pun Anda tidak akan diperbolehkan memasuki peron dari hall utara. Anda tetap harus berputar ke halli> selatan, tidak ada kompromi, hanya titik. Padahal dalam situasi ini, kedudukan penumpang KA lokal dan KAJJ saya rasa sudah sama, sama-sama membeli tiket, sama-sama sudah mengeluarkan uang untuk mendapat pelayanan yang (semestinya) setara.
Jadi, untuk siapa skybridge ini? Penumpang KA lokal nyaris tidak pernah menggunakannya karena KA lokal hampir selalu berhenti di peron selatan. Apakah skybridge ini hanya untuk memanjakan pengguna KA jarak jauh saja, untuk wisatawan yang datang ke Bandung saja, dan bukan untuk warga Bandung sendiri yang sehari-harinya harus menaiki KA lokal untuk mencari nafkah?
Menjauhkan Warga dari Akses Transportasi Publik
Saya akan mengajak para pembaca untuk bermain peran. Dalam peran ini Anda adalah seorang warga yang tinggal di Jalan Marjuk dan hendak bepergian menggunakan KA lokal. Anda berangkat berjalan kaki dari rumah, sesampainya di ujung Jalan Marjuk, Anda sudah dapat melihat bangunan Stasiun Bandung dengan mata telanjang — begitu dekatnya. Namun Anda segera tersadar, itu adalah bangunan hall utara dan Anda hanyalah calon penumpang KA lokal, Anda akan segera ‘terusir’ sesaat setelah menginjakkan kaki di bangunan itu walaupun sudah membeli tiket melalui aplikasi.
Pilihan yang tersedia kini ada dua: (1) menempuh perjalanan melalui Jalan Pasirkaliki sejauh 1,2 km (naik angkot) atau (2) berjalan sejauh ±700 meter via jembatan penyeberangan orang (JPO) sebelah timur Stasiun Bandung. Kondisi JPO-nya pun tidak ramah disabilitas dan kaum prioritas: hanya tersedia tangga curam untuk mengaksesnya, ditambah lagi dengan besi-besinya yang berkarat serta lantainya bergoyang-goyang, sensasi tambahan akan dirasakan ketika ada kereta yang melintas di bawahnya: JPO bergetar.
Jarak sejauh yang disebutkan tadi sudah bukan termasuk walkable distance (saya mengambil standar 400 meter sebagai walkable distance), sehingga pemisahan ini malah menimbulkan permasalahan first/last mile trip bagi orang-orang yang semula tidak berhadapan dengan masalah tersebut.
Contoh lainnya, Anda adalah seorang tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Mata Cicendo. Anda baru saja turun dari KA lokal dan akan menyelesaikan kepingan terakhir perjalanan untuk kemudian memulai pekerjaan. Dahulu, Anda biasa keluar melalui hall utara, dari sana Anda hanya tinggal berjalan kaki sejauh ±470 meter menuju RS Cicendo, tidak terpaut jauh dari walkable distance. Namun kehidupan Anda berubah sejak penumpang KA lokal tidak lagi diizinkan untuk keluar/masuk melalui hall utara. Dari hall selatan, perjalanan menuju RS Cicendo menjadi lebih jauh, yaitu 800 meter dan harus melewati JPO reyot itu. Lupakan pilihan naik angkot, selain harus mengeluarkan ongkos lebih, angkot tidak melintas ke depan RS Cicendo, Anda mesti berjalan kaki lagi sejauh ±240 meter dari pertigaan Jalan Kebon Kawung-Jalan Cicendo selepas turun dari angkot.
Hal ini juga terjadi di stasiun terbesar kedua di Bandung, yaitu Kiaracondong. Di sini, penumpang KA lokal juga hanya boleh mengakses stasiun dari pintu selatan. Bayangkan Anda tinggal di Jalan Babakan Sari II. Anda hendak menaiki KA lokal, Anda senang sekali karena bangunan stasiun sudah ada di depan mata. Namun sayang, bangunan itu adalah hall utara, penumpang KA lokal tidak diperkenankan untuk menginjakkan kaki di sana. Anda hanya boleh masuk dari hall selatan. Malangnya, tidak ada JPO di sekitar Stasiun Kiaracondong dan tidak ada pula angkot yang menghubungkan Jalan Babakan Sari II dengan pintu selatan. Pilihannya: (1) berjalan kaki sejauh 500 meter lebih, atau (2) jika Anda tidak mau ribet dan keburu dongkol karena dibeda-bedakan, silakan kembali saja ke kendaraan pribadi, tidak perlu naik transportasi umum.
Jika sudah begini, masyarakat selalu dituding sebagai penyebab kemacetan lantaran enggan menggunakan transportasi publik, tapi mengapa akses terhadap transportasi publik malah dijauhkan?
Jalan Panjang Menuju Kesetaraan
Akses terhadap transportasi publik perkotaan hendaknya dibuat sebanyak-banyaknya agar masyarakat tertarik untuk menggunakannya. Contohnya cukup jamak dijumpai di stasiun-stasiun metro, misalnya Stasiun Bundaran Hotel Indonesia pada layanan MRT Jakarta yang memiliki enam pintu masuk dan Stasiun Dukuh Atas yang memiliki lima pintu masuk. Akses yang banyak akan memberikan rasa dekat bagi penumpang.
Hal itu memang berbeda dengan yang terjadi pada stasiun-stasiun yang dioperasikan PT KAI karena PT KAI melayani perjalanan KAJJ juga. Solusi untuk stasiun dengan lebih dari satu jenis layanan seperti Stasiun Bandung bisa dengan menggunakan pengaturan alur penumpang, misalnya dengan menyediakan gate khusus untuk kedatangan dan keberangkatan penumpang KA lokal di hall utara, sehingga pemeriksaan tiket KA lokal dan KAJJ tidak tercampur. Dengan demikian penumpang KA lokal dapat melakukan boarding dari gate tersebut. Namun sepertinya solusi ini masih belum dapat diterapkan mengingat saat ini hall utara hanya memiliki dua gate: (1) gate sisi timur digunakan untuk boarding penumpang KAJJ dan (2) gate sisi barat digunakan untuk menampung kedatangan penumpang KAJJ. Dalam satu keberangkatan dan kedatangan KAJJ saja hall utara sudah kehabisan ruang oleh penumpang. Mungkin inilah alasan sesungguhnya dari pemisahan, bukan penumpukan penumpangnya yang dikhawatirkan, melainkan memang bangunan stasiunnya saja yang sudah tidak sanggup menampung.
Maka dari itu, sudah saatnya Stasiun Bandung diperluas. Tapi nyatanya sejak wacana pengembangan Stasiun Bandung digaungkan pada tahun 2017 lalu, hingga kini kondisi hall stasiun masih sama. Lima tahun telah berlalu, yang terwujud hanyalah maketnya, terpampang ‘bisu’ — saya tidak bisa menyebutnya ‘gagah’, bagaimanapun itu hanya maket, tidak bisa digunakan oleh penumpang — di ruang tunggu hall utara. Saya khawatir ketika nanti layanan KA lokal di Bandung Raya sudah digantikan oleh kereta rel listrik (KRL) seperti di Jabodetabek namun tidak disertai dengan penambahan kapasitas bangunan stasiun, penumpang KRL akan mengalami kesulitan yang sama seperti saat ini karena hanya diperbolehkan tap in/out di hall selatan.
Pada akhirnya, diperlukan political will yang kuat dari para stakeholder terkait untuk dapat mewujudkan transportasi publik yang terjangkau dan inklusif, sebab itulah dua di antara banyak hal yang dapat membuat masyarakat tertarik untuk menggunakan transportasi publik. Bayangkan jika ada orang yang ingin beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik tapi harus gigit jari di hari perdananya karena ditolak masuk dari salah satu pintu stasiun, padahal aksesnya justru lebih dekat dari sana. Besar kemungkinan keesokan harinya orang tersebut kembali ke kendaraan pribadi, kecuali jika orang tersebut memang bermental baja dan ditunjukkan dengan kerelaannya menambah jarak perjalanan hariannya.
Tapi, jika suatu transportasi publik hanya digunakan oleh orang-orang bermental baja saja, bukankah itu berarti transportasi publik tersebut sudah kehilangan inklusivitasnya?